Halaman
61
Bab 6 Drama I
Tempo, 11 okt 04
Tempo, 23 Apr 01
Kesenian Lenong Betawi adalah salah satu contoh
drama yang kental dengan budaya Betawi.
Sebuah kelompok teater sedang mempertunjukan
drama Sampek Engtay.
Drama dapat dipertunjukkan dalam berbagai
bentuk, seperti pementasan teater, sandiwara, le-
nong, film, sinetron, dan sebagainya. Semua bentuk
drama itu tercipta dari dialog-dialog yang diperankan
oleh pemain-pemain dengan didukung latar yang se-
suai. Drama dapat memukau penonton jika pemain
berhasil memerankan tokoh drama dengan karakter
yang sesuai.
6.16.1
6.16.1
6.1
Mengidentifikasi
Mengidentifikasi
Mengidentifikasi
Mengidentifikasi
Mengidentifikasi
PP
PP
P
ementasan Drama
ementasan Drama
ementasan Drama
ementasan Drama
ementasan Drama
Berikut ini Anda akan mendengarkan pementas-
an sepenggal drama yang dilakukan teman Anda.
Sambil mendengarkan dan mencermati pementasan
drama tersebut, coba Anda identifikasi unsur-unsur
yang ada dalam drama yang dipentaskan tersebut!
Pilihlah tiga orang temanmu untuk mementaskan
drama di depan kelas! Dengarkan dan identifikasilah
drama yang dipentaskan teman-temanmu itu! Hal-
Pada bab enam kalian akan diajak untuk dapat
mempelajari tentang drama.
Untuk itu
pertama-tama
kalian diajak untuk dapat
mengidentifikasi peristiwa, pelaku, dan perwatakan-
nya, dialog, dan konflik pada pementasan drama. Itu
berarti kalian harus dapat mengidentifikasi unsur in-
trinsik pada pementasan drama, dan mengulas secara
tertulis pementasan drama mengaitkan isi drama de-
ngan kehidupan sehari-hari.
Kedua
, kalian diajak untuk dapat menyampaikan
dialog disertai gerak-gerik dan mimik sesuai dengan
watak tokoh; mengekspresikan perilaku dan dialog
tokoh prototonis dan antagonis; menganalisis pemen-
tasan drama berdasarkan teknik pementasan. Itu ber-
arti kalian harus dapat membaca dan memahami teks
drama yang akan kalian mainkan; menghayati watak
tokoh yang akan kalian perankan; memainkan drama
dengan memperhatikan penggunaan lafal, intonasi,
nada/tekanan, mimik/gerak-gerik yang tepat sesuai
dengan watak tokoh antagonis/protagonis; memen-
taskan drama secara kelompok; mengemukakan ulas-
an pementasan teman kalian; mengomentari serta
memberikan saran atas ulasan berdasarkan teknik pe-
mentasan.
62
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
hal yang diidentifikasi adalah konflik, dialog, peristiwa, tokoh, dan
watak tokoh.
Konflik
adalah ketegangan di dalam
cerita rekaan atau drama; per-
tentangan antara dua kekuat-
an. Pertentangan ini dapat
terjadi dalam diri satu tokoh,
antara dua tokoh, antara tokoh
dan masyarakat lingkungannya,
antara tokoh dan alam, serta
antara tokoh dan Tuhan. Istilah
lain: tikaian.
Dialog
adalah (1) percakapan di
dalam karya sastra antara dua
tokoh atau lebih; (2) karangan
yang menggambarkan perca-
kapan di antara dua tokoh atau
lebih. Di dalam dialog tercermin
pertukaran pikiran atau penda-
pat; dipakai di dalam drama, no-
vel, cerita pendek, dan puisi
naratif untuk mengungkapkan
watak tokoh dan melancarkan
lakuan.
Peristiwa
adalah kejadian yang
penting, khususnya yang ber-
hubungan dengan atau meru-
pakan peristiwa yang menda-
huluinya.
Tokoh
adalah individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau ber-
kelakuan di dalam berbagai pe-
ristiwa dalam cerita.
Watak
(Character)
adalah sifat dan
ciri yang terdapat pada tokoh,
kualitas nalar dan jiwanya yang
membedakannya dari tokoh lain
(Panuti Sudjiman, 1990)
BABAK PERTAMA
ADEGAN I
Sebuah balairung di istana Raja Lear. Masuk Kent, Gloucester,
dan Edmund.
KENT
Kusangka baginda lebih menyayangi Adipati Albany dari pada
Adipati Cornwall.
GLOUCESTER
Kami selalu beranggapan begitu; tetapi kini pada pembagian
kerajaan, tak kentara tumenggung yang mana paling dihargai
baginda; sebab semuanya adil benar timbangannya, hingga
dengan secermat-cermatnya pun kedua pihak tak sanggup
memilih bagian masing-masing.
KENT
Ini putra tuan, bukan?
GLOUCESTER
Asuhannya menjadi tanggunganku. Sering aku malu mengakui
dia, namun kini menjadi biasa.
KENT
Saya tak mengerti.
GLOUCESTER
Ibu si anak lebih mengerti tuan dan itu menyebabkan dia
berbadan dua. la mempunyai anak untuk ayunannya, sebelum
ia punya suami untuk ranjangnya. Tuan bisa mencium
kesalahannya.
KENT
Tak kuharap kesalahan itu batal, sebab kulihat buahnya baik.
GLOUCESTER
Aku juga punya anak lelaki yang sah, tuan, kira-kira setahun
lebih tua dari ini, tak lebih kuhargai. Sesungguhpun anak ini
datangnya di dunia agak kurang ajar, sebelum dipanggil,
namun ibunya cantik; ia terjadi karena main-main. Dan haram
jadah harus diakui juga. Kau kenal tuan yang terhormat ini,
Edmund?
EDMUND
Tidak, ayah.
GLOUCESTER
Ini Tumenggung Kent; mulai sekarang ingatlah pada beliau
sebagai kawanku yang kujunjung tinggi.
63
Bab 6 Drama I
EDMUND
Hormat saya, tuan
KENT
Aku senang denganmu, kuharap kita dapat berkenalan lebih
dekat.
Sumber:
Raja Lear
karya Wiliam Shakespeare, terj.
Trisno Sumarjo dari judul asli
King Lear
Setelah mengamati pemen-
tasan drama oleh teman-teman-
mu, isilah TABEL A! Diskusikan
dengan teman sebangku, jika
Anda mengalami kesulitan!
1
Tokoh
Kent
Gloucester
Edmund
2
Watak
Kent
Gloucester
Edmund
3
Peristiwa
4
Konflik
Masalah
Pelaku Konflik
TABEL A
64
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
1. Bentuklah kelompok-kelompok
untuk mempersiapkan pemen-
tasan
Drama Mangir
!
2. Banyak hal yang harus disiapkan
untuk pementasan drama. Oleh
karena itu, bagilah tugas untuk
setiap kelompok! Misalnya, ke-
lompok I mempersiapkan pe-
main, kelompok II mempersiap-
kan kostum pemain, kelompok
III mempersiapkan musik, dan
lain-lain.
3. Setelah semua persiapan sele-
sai, pentaskanlah drama ter-
sebut!
6.26.2
6.26.2
6.2
Menanggapi P
Menanggapi P
Menanggapi P
Menanggapi P
Menanggapi P
ementasan Drama
ementasan Drama
ementasan Drama
ementasan Drama
ementasan Drama
Drama sebagai salah satu bentuk tontonan sering kita sebut
dengan istilah teater, lakon, sandiwara, atau tonil. Menurut perkem-
bangannya, bentuk drama di Indonesia mulai pesat pada masa pen-
dudukan Jepang. Hal itu terjadi karena pada masa itu drama menjadi
sarana hiburan bagi masyarakat sebab pada masa itu film dilarang
karena dianggap berbau Belanda.
Unsur dalam drama tidak jauh berbeda dengan unsur dalam
cerpen, novel, maupun roman. Dialog menjadi ciri formal drama
yang membedakannya dengan bentuk prosa yang lain. Selain dia-
log, terdapat plot/alur, karakter/tokoh, dan latar/
setting
. Apabila
drama sebagai naskah itu dipentaskan, maka harus dilengkapi dengan
unsur: gerak, tata busana, tata rias, tata panggung, tata bunyi, dan
tata sinar. Dialog dalam drama memiliki fungsi sebagai berikut.
a. Melukiskan watak tokoh-tokoh dalam cerita.
b. Mengembangkan plot dan menjelaskan isi cerita kepada pembaca
atau penonton.
c. Memberikan isyarat peristiwa yang mendahuluinya.
d. Memberikan isyarat peristiwa yang akan datang.
e. Memberikan komentar terhadap peristiwa yang sedang terjadi
dalam drama tersebut.
6.2.16.2.1
6.2.16.2.1
6.2.1
Menghayati W
Menghayati W
Menghayati W
Menghayati W
Menghayati W
atak Tatak T
atak Tatak T
atak T
okohokoh
okohokoh
okoh
Ketika Anda akan mementaskan naskah drama, pemilihan pe-
main harus dipertimbangkan dengan tepat. Pemain dalam drama
harus benar-benar menghayati watak tokoh yang dimainkan. Supaya
dapat menghayati watak tokoh dengan benar, pemain harus membaca
dan mempelajari naskah drama dengan cermat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pemain
drama adalah:
a. kemampuan calon pemain,
b. kesesuaian postur tubuh, tipe gerak, dan suara yang dimiliki ca-
lon pemain dengan tokoh yang akan dimainkan,
c. kesanggupan calon pemain untuk memerankan tokoh dalam
drama.
Jika ketiga hal di atas dapat dipenuhi oleh calon pemain, akan
mempermudah dalam penghayatan watak tokoh dalam drama yang
akan dipentaskan. Hal lain yang harus diperhatikan, saat Anda akan
menghayati watak tokoh dalam drama yang akan diperankan adalah
sebagai berikut:
Pahamilah ciri-ciri fisik tokoh yang diperankan, seperti jenis ke-
lamin, umur, penampilan fisik, dan kondisi kesehatan tokoh.
Pahamilah ciri-ciri sosial tokoh yang diperankan, seperti peker-
jaan, kelas sosial, latar belakang keluarga, dan status tokoh
65
Bab 6 Drama I
yang akan diperankan.
Pahamilah ciri-ciri nonfisik tokoh, seperti pandangan hidup dan
keadaan batin.
Pahamilah ciri-ciri perilaku tokoh dalam menghadapi dan menye-
lesaikan sebuah konflik.
6.2.26.2.2
6.2.26.2.2
6.2.2
PP
PP
P
ementasan Drama
ementasan Drama
ementasan Drama
ementasan Drama
ementasan Drama
Hal-hal yang dipersiapkan dalam pementasan drama adalah:
Sutradara (pemimpin pementasan),
Penulis naskah (penulis cerita),
Penata artistik (pengatur
setting, lighting
, dan properti),
Penata musik (pengatur musik, pengiring, dan efek-efek suara),
Penata kostum (perancang pakaian sesuai dengan peran),
Penata rias (perancang rias sesuai dengan peran),
Penata tari/koreografer (penata gerak dalam pementasan),
Pemain (orang yang memerankan tokoh),
MANGIR
PARA PELAKU DRAMA
1. Wanabaya, Ki Ageng Mangir, pemuda,
+ 23 ta-
hun, prajurit, pendekar, panglima Mangir, tua
Perdikan Mangir, tampan, tinggi, perkasa dan
gagah.
2. Baru Klinting, tetua Perdikan Mangir, pemuda,
+ 26
tahun, prajurit, ahli siasat, pemikir, organisator.
3. Pambayun, Putri, putri pertama Panembahan
Senapati dengan permaisuri,
+ 16 tahun, telik
Mataram, berpikiran masak.
4. Suriwang, pandai tombak,
+ 50 tahun, pengikut
fanatik Baru Klinting.
5. Kimong, telik Mataram,
+ 30 tahun.
6. Tumenggung Mandaraka, pujangga dan pe-
nasihat kerajaan Mataram,
+ 92 tahun, kepala
rombongan telik Mataram.
7. Ki Ageng Pamanahan, ayah Panembahan
Senapati,
+ 90 tahun.
8. Pangeran Purbaya, anak pertama Panembahan
Senapati,
+ 20 tahun.
9. Tumenggung Jagaraga, anggota rombongan telik
Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang,
+ 35
tahun.
10. Tumenggung Pringgalaya, anggota rombongan
telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang,
+ 45 tahun.
11. Panembahan Senapati. Raja Pertama Mataram,
+ 45 tahun.
12. Demang Pajang,
+ 42 tahun.
13. Demang Patalan,
+ 35 tahun.
14. Demang Pandak,
+ 46 tahun.
15. Demang Jodog,
+ 55 tahun
16. Pencerita
(troubadour)
.
BABAK PERTAMA
PENCERITA (Troubadour)
bercerita dengan iringan
gendang kecil sebelum layar diangkat:
Siapa belum pernah dengar
Cerita lama tentang Perdikan Mangir
Sebelah barat daya Mataram?
Dengar, dengar, dengar: aku punya cerita.
Tersebut Ki Ageng Mangir Tua, Tua Perdikan
Wibawa ada dalam dadanya
Bijaksana ada pada lidahnya
Rakyat Mangir hanya tahu bersuka dan
bekerja
NASKAH DRAMA
dan lain-lain.
Anda akan mementaskan
Drama Mangir
babak pertama.
Drama Mangir
terdiri atas tiga babak. Berikut ini
kutipan babak pertama Drama Mangir.
66
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
Tinggal sejengkal lidah
Dijadikannya tombak pusaka
Itulah konon tombak pusaka
Si Baru Klinting....
Layar
–
terbuka pelan-pelan dalam tingkahan gen-
dang pencerita, mengangakan panggung yang gelap
gulita.
Pencerita
– berjalan mundur memasuki panggung
gelap dengan pukulan gendang semakin lemah, kemu-
dian hilang dari panggung.
Setting
–
Sebuah ruang pendopo di bawah soko-
soko guru terukir berwarna
(polichromed),
dilengkapi
dengan sebuah meja kayu dan beberapa bangku kayu.
Di atas meja berdiri sebuah gendi bercucuk berwarna
kehitaman. Dekat pada sebuah soko guru berdiri
sebuah jagang tombak dengan tujuh bilah tombak
berdiri padanya. Latar - belakang adalah dinding ru-
mah-dalam, sebagian tertutup dengan rana kayu ber-
ukir dan sebuah ambin kayu bertilam tikar mendong.
BARU KLINTING
:
(duduk di sebuah bangku pada
ujung meja, menoleh pada penonton).
Hmm!
(Dengan perbukuan jari-jari tangan memukul
pojokan meja, dalam keadaan masih menoleh
pada penonton).
Sini, kau Suriwang!
SURIWANG
:
(memasuki panggung membawa seikat
mata tombak tak bertangkai, berhenti; dengan
satu tangan berpegang pada sebuah soko-
guru).
Inilah Suriwang, pandai tombak terper-
caya Baru Klinting.
(menghampiri Baru Klinting,
meletakkan ikatan tombak di atas meja).
Pilih
mana saja, Klinting, tak bakal kau dapat men-
cela.
BARU KLINTING
:
(mencabut sebilah, melempar-tan-
capkan pada daun meja, mengangkat dagu):
Setiap mata bikinan Suriwang sebelas prajurit
Mataram tebusan.
SURIWANG
: Ai-ai-ai tak bisa lain. Segala apa yang
baik untuk Suriwang, lebih baik lagi untuk
Klinting, laksana kebajikan menghias wanita
jelita, laksana bintang menghias langit-lebih,
lebih baik lagi untuk Wanabaya, Ki Ageng
Mangir.
BARU KLINTING
:
(memberi isyarat dengan kepala).
Tinggalkan yang tertancap ini. Singkirkan sele-
bihnya di ambin sana.
SURIWANG
:
(mengambil ikatan mata tombak,
mendekatkan mulut pada Baru Klinting).
Semua usaha kembang, bumi ditanami jadi.
Datanglah hari setelah setahun menanti
Pesta awal Sura
Ronggeng, wayang, persabungan, gelut, lomba
tombak,
Dekat-jauh, tua-muda, bujang-perawan, semua
datang
Di dapur Ki Ageng Mangir Tua
Habis pisau perajang terpakai.
Datang perawan Mendes mohon pada Ki
Ageng:
-
Pinjami si Mendes ini pisau sebilah
- Hanya tinggal belati pusaka
boleh kau menggunakan, tapi jangan kau
lupa
Dipangku dia jadi bahala.
Perawan Mendes terlupa belati pusaka dipang-
kunya
Ah, ah, bayi mendadak terkandung dalam ra-
himnya
Lahir ke atas bumi berwujud ular sanca
- Inilah aku, ampuni, Bunda, jasadku begini rupa
Malu pada perdikannya
Malu pada sanak tetangga
Ki Ageng lari seorang diri
Jauh ke gunung Merapi
Mohon ampun pada Yang Maha Kuasa
Ki Ageng Mangir Tua bertapa. Dia bertapa!
Datang seekor ular padanya
Melingkar mengangkat sembah
- Inilah Baru Klinting sendiri.
Datang untuk berbakti
Biar menjijikkan begini
Adalah putramu sendiri.
Ki Ageng mengangkat muka
Kecewa melihat sang putra
- Tiada aku berputra seekor ular
Kecuali bila berbukti
Dengan kepala sampai ekor
Dapat lingkari Gunung Merapi.
Tepat di hadapan Ki Ageng Mangir Tua
Baru Klinting lingkari Gunung Merapi
Tinggal hanya sejengkal
Lidah dijelirkan untuk penyambung
Ki Ageng memenggalnya dengan keris pu-
saka.
Ular lari menghilang
67
Bab 6 Drama I
Mengapa tak kau perintahkan balatentara
Mangir menusuk masuk ke benteng Mataram-
melindas raja dan semua calonnya?
BARU KLINTING
:
(pergi menghindar).
SURIWANG
:
(membawa ikatan mata tombak, bicara
pada diri sendiri).
Baru Klinting! Seperti dewa
turun ke bumi dari ketiadaan.
(mengangguk-
angguk).
Anak desa ahli siasat - dengan Rong-
geng Jaya Manggilingan digilingnya balatentara
Mataram, pulang ke desa membawa keme-
nangan.
(pada Baru Klinting).
Masih kau biar-
kan Panembahan Senapati berpongah dengan
tahta dan mahkota?
BARU KLINTING
:
(bersilang tangan).
Mataram tak-
kan lagi mampu melangkah ke selatan. Kepungan
Mangir sama tajam dengan mata pedang pada
lehernya. Pada akhirnya bakal datang dia
merangkak pada kaki kita, minta hidup dan nasi.
SURIWANG
:
(meletakkan ikatan tombak di atas
Iantai, menghampiri Baru Klinting).
Bakal
datang dia merangkak pada kaki kita, minta
hidup dan nasi.
BARU KLINTING
: Belum mampu pandangmu me-
nembus hari dekat mendatang? Dia akan da-
tang - hari penghinaan itu. Kan meruap hilang
impian Panembahan, jadi raja tunggal meng-
gagahi Pulau Jawa. Bakal telanjang diri dia da-
lam kekalahan dan kehinaan.
SURIWANG
: Ai-ai-ai tak bisa lain, Klinting. Perdikan
Mangir sudah lima turunan berdiri. Lapanglah
jalan bagi Sri Maharatu Dewi Suhita Majapahit.
Demak tak berani raba, Pajang tak pernah
jamah. Ai-ai-ai, Panembahan Senapati, anak
ingusan kemarin, kini mau coba-coba kuasai
Mangir.
BARU KLINTING
: Apa pula hendak kau katakan,
Suriwang?
SURIWANG
: Mataram bernafsu mengangkang di atas
Mangir! Ai-ai-ai. Mengangkat diri jadi raja,
kirimkan patihnya Singaranu - ke Mangir,
Klinting, - menuntut takluk dan upeti, barang
gubal dan barang jadi. Perdikan Mangir hendak
dicoba! Pulang tangan hampa, balik kembali
dengan balatentara. Kau telah bikin panglima
Mataram, Takih Susetya, berantakan dengan
supit-urangnya. Ai-ai-ai tak bisa lain, tak bisa
lain. Klinting, kau benar-benar dewa turun ke
bumi - tumpas mereka dengan Ronggeng Jaya
Manggilinganmu. Ke mana panglima Mataram
itu kini menghilang larikan malunya?
BARU KLINTING
: Bikin kau tombak tambahan -
delapan ratus mata senilai ini
(menuding pada
mata tombak tertancap di atas meja)
.
SURIWANG
: Delapan ratus lagi - bukan cuma Mata-
ram, Ki Ageng Mangir Muda.
BARU KLINTING
:
(memperingatkan).
Mangir akan
tetap jadi Perdikan, tak bakal jadi kerajaan.
Semua orang boleh bersumbang suara, semua
berhak atas segala, yang satu tak perlu
menyembah yang lain, yang lain sama dengan
semua.
SURIWANG
:
(mencari muka Baru Klinting).
Dan tom-
(a)
(b)
(c)
(a) Karakter tokoh Baru Klinting; (b) Karakter tokoh Putri Pambayun; (c) Karakter
tokoh Wanabaya atau Ki Ageng Mangir.
Drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer
68
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
bak yang delapan ratus lagi?
BARU KLINTING
: Masih belum kenal kau apa itu
raja? Raja jaman sekarang? Masih belum kenal
kau siapa Panembahan Senapati? Mula-mula
membangkang pada Sultan Pajang, ayah-
angkat yang mendidik-membesarkannya,
kemudian membunuhnya untuk bisa marak jadi
raja Mataram? Adakah kau lupa bagaimana
Trenggono naik takhta, hanya melalui bangkai
abangnya? Apakah kau sudah pikun tak ingat
bagaimana Patah memahkotai diri dengan
dusta, mengaku putra Sri Baginda Bhre Wijaya?
SURIWANG
: Ai-ai-ai memang tak bisa lain, dengan
modal dusta berlaku durjana... hanya untuk
bisa jadi raja.
BARU KLINTING
: Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda,
tak bakal jadi raja.
SURIWANG
: Tak bakal jadi raja! Buat apa pula
tombak tambahan?
BARU KLINTING
: Bukan buat naikkan Wanabaya ke
takhta, buat tumpas semua raja dengan nafsu
besar dalam hatinya, ingin berkangkang jadi
yang dipertuan. Mangir tak boleh dijamah.
SURIWANG
: Mangir tak boleh dijamah! Ai-ai-ai, tak
bisa lain.
BARU KLINTING
: Semakin banyak tombak kau
tempa, semakin banyak kau bicara. Panggil sini
orang baru pembikin tangkai tombak itu.
SURIWANG
:
(berpaling dan melambat).
Sini kau,
orang baru!
KIMONG
:
(masuk ke panggung, membungkuk-bungkuk,
kemudian mengangkat sembah).
Kimong, inilah
sahaya.
BARU KLINTING
dan
SURIWANG
:
(mengangkat
dagu dan mata membelalak).
SURIWANG
: Dia bersahaya dan bersembah, Klinting.
BARU KLINTING
:
(meninggalkan Suriwang, pergi
ke meja, mecabut mata tombak tertancap dan
mengamat-amati).
SURIWANG
:
(menggertak).
Kudengar suaramu se-
perti keluar dari kerongkongan orang Perdikan,
bungkuk dan sembahmu benar-benar Mata-
ram.
KIMONG
:
(menunduk mengapurancang).
Ya, inilah
Kimong, datang untuk mengabdi pada Wana-
baya Ki Ageng Mangir Muda, juru tangkai tom-
bak pekerjaan sahaya.
SURIWANG
: Bicaramu panjang-panjang, lambat dan
malas. Bukan tempatmu kau di Perdikan, dari
kedemangan tetangga pun kau bukan!
KIMONG
: Juru tangkai tombak
(menyembah),
ahli
kayu sono keling jarang bandingan, perawat
senjata pusaka lima bupati, demang dan se-
mua nakaya....
SURIWANG
: Dari mana kau?
KIMONG
: Parangtritis desa sahaya.
BARU KLINTING
:
(memperdengarkan ketukan
perbukuan jari-jari pada meja)
.
SURIWANG
: Kau anggap gampang menipu
Perdikan?
(mendengus menghinakan).
Berapa
lama kau membudak di istana Mataram.
KIMONG
: Sahaya hanya orang desa.
SURIWANG
: Mengaku hanya orang desa! Kalau
benar kau dari Parangtritis, berapakah jarak
dari Mangir ke Laut-Kidul?
KIMONG
: Tujuh ribu lima ratus langkah
(menyem-
bah).
SURIWANG
: Dari Mangir ke Mataram?
KIMONG
: Lima belas ribu langkah.
SURIWANG
: Kau takkan balik ke Mataram, karena
Laut Kidul lebih dekat untukmu.
KIMONG
: Ampuni sahaya, dengar Ki Ageng butuhkan
juru tangkai, bergesa sahaya datang untuk
mengabdi. Inilah sahaya, tinggal si juru tangkai
tombak.
SURIWANG
:
(mendengus)
.
BARU KLINTING
:
(setelah memeriksa tombak-tombak
di jagang menghampiri Kimong dengan bersi-
lang tangan, menggeleng-geleng, mengangkat
dagu membuang pandang, tersenyum meng-
gigit).
SURIWANG
: Datang menghadap arena dengar warta.
Dari mana kau dengar Ki Ageng Muda ada di
Mangir?
KIMONG
: Warta tertiup lalu dari desa ke desa.
SURIWANG
: Tak ada mulut Mataram bisa dipercaya.
KIMONG
: Orang Parangtritis sahaya, bukan mulut
Mataram.
SURIWANG
: Bicara kau, Minting. Bukankah tepat
kata-kataku?
BARU KLINTING
: Apakah kau sudah lupa pada dusta
orang yang berbagi kasih pengecer cinta? Sama
dustanya dengan pengabdi pada dua majikan.
SURIWANG
: Pengabdi pada dua majikan. Ini dia
orangnya!
(menuding pada Kimong).
BARU KLINTING
: Dengan mulutnya yang berdusta,
69
Bab 6 Drama I
hatinya setia mengabdi hanya pada diri sendiri.
SURIWANG
: Ai-ai-ai tak bisa lain.
KIMONG
:
(bingung menatap mereka berganti-ganti).
Ah-ah.
SURIWANG
: Kau mulut yang berdusta, hati hanya
mengabdi pada diri sendiri, arah semua ge-
rakan hanya harta.
BARU KLINTING
: Hati dalam dadanya compang-
camping, Suriwang, seperti sayap elang tua.
SURIWANG
: Sedang dadanya bolong seperti tahang
kosong. Di mana tempat orang berdada bolong
berhati compang-camping, Klinting?
BARU KLINTING
: Setidak-setidak bukan di tempat
di mana tombak diberi bertangkai.
KIMONG
: Sahaya ada ipar di sini, setiap waktu bisa
jadi saksi.
SURIWANG
: Ipar? Di antara kau dan istrimu ada
ipar. Di antara kau dengan Mangir hanya ada
Ma-taram. Terkutuk kau, budak raja.
(pada
Baru Klinting)
Bukankah aku benar Klinting?
BARU KLINTING
:
(bersilang tangan, mengangguk-
angguk).
SURIWANG
: Antara Mangir dan Laut Kidul hanya
tujuh ribu lima ratus langkah. Antara Mangir
Mataram lima belas. Kau tak kembali ke
Mataram, tidak berhenti di Mangir.
KIMONG
: Ampuni sahaya, jangan beri sahaya Laut
Kidul. Beri sahaya kayu sono keling. Empat pu-
luh batang tangkai dalam sehari inilah tangan
sahaya, sanggup kerjakan tanpa dusta.
BARU KLINTING
: Hmm.
SURIWANG
:
(menuding pada Kimong)
Keluar!
KIMONG
:
(keluar meninggalkan panggung disambut
oleh tangan-tangan yang menangkap. Di atas
tangan-tangan itu nampak beberapa tombak
telanjang).
Ampun! Ampuni sahaya.
BARU KLINTING
:
(menghampiri Suriwang, dengan
isyarat mengajak kembali ke meja):
Berapa
saja telik dalam seminggu!
SURIWANG
: Berapa kiranya yang telah kena tangkap?
BARU KLINTING
: Takkan habis-habis, sebelum Mata-
ram batal jadi kerajaan.
SURIWANG
: Takkan aku lupakan, Klinting, raja dan
telik laksana celeng dengan penciumannya.
BARU KLINTING
:
(mengambil mata tombak dari atas
meja dan mempermain-mainkannya).
Mata-
ram telah mengubah diri jadi kerajaan, Suri-
wang, setiap kerajaan adalah negeri telik.
Panembahan Senapati bunuh ayah-angkatnya,
Sultan Pajang, bukankah juga dengan telik-
teliknya? Luka parah, dibawa pulang dan mati
di bilik sendiri.
SURIWANG
: Mangir bukan Pajang, Klinting.
Wanabaya bukan Hadiwijaya. Tua Perdikan
bukan Sultan bukan raja. Telik Mataram takkan
bisa kiprah di Mangir. Lolos dua empat kena!
Semua akan masuk perangkap. Huh-huh,
budak raja bukan orang mardika. Seribu telik
Mataram, tak bakal bikin Mangir merangkak,
seperti keong memi-kul upeti persembahan.
Klinting, bukankah tak ada orang Perdikan
butuhkan raja?
BARU KLINTING
: Bahkan kambing-kambingnya tak
butuhkan.
SURIWANG
: Baru Klinting yang jenaka.
BARU KLINTING
: Di mana pun jua, Suriwang, raja
jadi beban semua.
SURIWANG
: Ai-ai-ai tak bisa lain, jadi beban semua.
BARU KLINTING
: Seorang di atas kepala sekian
laksa! Tombakmu jua yang menjungkirkannya.
SURIWANG
: Ai-ai-ai tak bisa lain.
Kepala seseorang
– (menongol pada tepian seben).
Baru Klinting! Para demang pemimpin rata, Demang
Patalan, Demang Jodog, Demang Pajangan dan
Demang Pandak!
(Kepala seseorang itu meninggalkan
panggung).
SURIWANG
: Kalau para gegeduk rata berdatangan
begini, Klinting, tiba saatnya buat Suriwang ini
untuk minta diri.
(meletakkan ikatan tombak
di atas ambin. Mengusapkan telapak tangan
pada dada Baru Klinting. Keluar panggung).
DEMANG PATALAN
dan
DEMANG JODOG
:
(masuk
ke panggung).
DEMANG PATALAN
: Kau telah lebih dulu di sini
Klinting!
DEMANG JODOG
: Aku lihat mata tombak di atas
meja.
BARU KLINTING
:
(memungut mata tombak itu dan
melempar-tancapkan pada daun meja):
Dela-
pan ratus lagi, harus jadi dalam sepuluh hari.
DEMANG JODOG
: Kita menang, pulang, buat
mengasoh dari perang. Masih juga tanganmu
gerayangan bikin pekerjaan.
BARU KLINTING
: Kau masih seperti di medan-perang,
masih merah seperti kepiting panggang.
DEMANG JODOG
: Ah, kau, Klinting, yang pandai
70
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
berolok.
BARU KLINTING
: Tak mengkerut kehijauan seperti
sebelum bertarung lawan Mataram.
DEMANG PATALAN
:
(tertawa).
Pada gelagat
pertama, siapa tidak takut pada Mataram. Se-
mua mengkerut kehijauan. Kalau bukan karena
kau, kau goncang bangunkan untuk melawan,
dan Wanabaya gemilang memimpin serang,
semua kami telah ditelan Senapati.
BARU KLINTING
:
(tertawa terkulum).
DEMANG JODOG
: Sekarang bocah angon pun
bangkit melawan.
BARU KLINTING
: Mana Demang Pajang dan Demang
Pandak?
DEMANG JODOG
: Masih di luar sana selesaikan per-
tengkaran.
BARU KLINTING
: Kalian berdua, apakah sudah
selesai?
DEMANG PATALAN
: Kaulah yang selesaikan, Baru
Klinting. Aku tarik pergi Demang Jodog, ting-
galkan Ki Ageng Mangir Muda di sana sendiri.
BARU KLINTING
: Masih kudengar gamelan berlagu.
DEMANG JODOG
: Dan masih menari dia di sana se-
perti gila, laksana merak jantan, kembangkan
bulu kejantanan dan ketampanan; mengigal
menggereki si Adisaroh penari. Patalan tidak
setuju.
DEMANG PATALAN
: Istilah perang bukan mestinya
berganti dengan gila menari, biar pun Adisaroh
secantik dewi.
DEMANG JODOG
: Beri dia kesempatan – seorang
perjaka tampan, berani-tangkas di medan-
perang, lincah di medan tari, baru lepas dari
brahmacarya karena kemenangan. Beri dia
kesempatan.
BARU KLINTING
: Inikah pertengkaran kalian? Juga
Demang Pajangan dan Pandak?
DEMANG JODOG
: Demang Pajangan berpihak pada
Jodog. Demang Pandak berpihak pada Patalan.
DEMANG PATALAN
: Wanabaya, Ki Ageng Mangir
Muda tidak semestinya terlambat datang.
Hanya karena Adisaroh penari, juga Pajangan
dan Pandak terlambat datang.
DEMANG PAJANGAN
dan
DEMANG PANDAK
:
(memasuki panggung).
DEMANG PAJANGAN
: Apa guna jadi pria kalau
bukan untuk mendapatkan wanita?
DEMANG PANDAK
: Tidak bisa. Untuk sekarang ini,
tidak bisa.
DEMANG PAJANGAN
: Apa guna ketampanan pada
Wanabaya? Apa guna kecantikan pada Adisaroh?
DEMANG PANDAK
: Tidak bisa! Tidak bisa!
DEMANG PAJANGAN
: Seperti kau sendiri tak pernah
jadi pria.
DEMANG PANDAK
: Tak bisa! Tidak bisa!
DEMANG PATALAN
: Kau lihat sendiri, Klinting,
Pandak sama dengan Patalan – tak bisa terima
Ki Wanabaya.
DEMANG PAJANGAN
: Baru Klinting, apa warta?
BARU KLINTING
: Inilah aku. Bangku-bangku telah
menunggu.
DEMANG PANDAK
:
(pergi ke meja, mengambil
gendi dan minum).
Panas badan melihat Ki
Wanabaya lupa daratan.
DEMANG PAJANGAN
:
(pergi ke meja, mengambil
gendi dari tangan Pandak).
Panas kepala ini,
melihat Adisaroh hanya mau layani Ki Wana-
baya.
DEMANG PATALAN
:
(mengambil alih gendi dari
tangan Pajangan).
Panas juga perut ini mesti
menung-gu kalian begini lama.
DEMANG JODOG
:
(tertawa meringis mendudukkan
diri di atas bangku).
Semua demam panas,
yang kepala, yang badan, yang perut. Hanya
Jodog ini tinggal tenang, setuju Ki Wanabaya
tegak habis istirah-perang, menari gila kitari
si Adisaroh. Bagi yang bijaksana hanya ada
tawa dan anggukan kepala.
(tertawa, kemu-
dian mengambil gendi dan minum juga).
DEMANG PATALAN
: Heran aku, Klinting, belum
setengah hari kau tinggalkan garis depan, pesta
panen telah selesai kau persiapkan.
BARU KLINTING
: Mereka yang telah teteskan
keringat pada bumi ini, berhak berpesta syukur
untuk Sri Dewi. Tak pernah ada tahun lewat
sejak leluhur pertama buka Perdikan ini.
DEMANG JODOG
: Diawali pesta ini dengan tandak
di Balai Perdikan. Luar biasa, tak pernah terjadi
sebelumnya.
DEMANG PATALAN
:
(menghampiri Demang Jodog,
menariknya berdiri dari duduknya).
Kau bera-
nikan dia datangkan rombongan tandak entah
dari mana asalnya, kau biarkan dia mabok ke-
payang, lupa darat lupa laut, lupa mula lupa
wasana.
DEMANG JODOG
:
(menghindari menghampiri Baru
Klinting).
DEMANG PATALAN
:
(mengikuti Demang Jodog dan
menyalahkan).
Lupa perang belum selesai,
kemenangan mutlak belum lagi di tangan!
DEMANG JODOG
: Klinting! – Seorang perjaka
71
Bab 6 Drama I
tampan dan bergaya, menang perang berlepas
brah-macarya, lelah perang baru pulang dari
medan – apakah dia tidak berhak bersuka?
DEMANG PATALAN
: Adakah kau hendak lupakan
Klinting?
DEMANG PANDAK
: Betul. Dia belum lagi melepas
brahmacarya. Dia juga perjaka, hanya sayang
tak tampan rupa. Tidak bisa, tak ada yang ber-
hak untuk bergila, juga Wanabaya Ki Ageng
Mangir Muda tidak. Tidak bisa! Tidak bisa!
DEMANG JODOG
: Semua berhak bersuka, tepat pada
giliran dan waktunya, juga semua prajurit di
garis-depan sana.
DEMANG PATALAN
: Jodog dalam hatimu ada
pamrih pribadi. Kau sendiri hendak melompat
pada kesempatan pertama.
DEMANG PATALAN
: Semua kita telah perang.
Semua punya hak untuk bersuka. Juga kau,
Klinting.
DEMANG PATALAN
: Kau, Klinting sang bijaksana,
kaulah sekarang yang bicara.
DEMANG JODOG
: Sudah lelah kami bertengkar,
bicara kau, Klinting.
BARU KLINTING
: Boleh saja bertengkar, hanya
jangan berkelahi.
DEMANG PAJANGAN
: Ada juga harganya
bertengkar bertarik urat, membela Wanabaya
tampan dan Adisaroh rupawan.
DEMANG PATALAN
: Klinting, bukankah dalam lelah
perang kita berjumpa, guna rundingkan, lang-
sung masuk Mataram atau tidak? Mestikah aca-
ra berkisah jadi Wanabaya dengan si tandak?
BARU KLINTING
: Kau Patalan, yang tinggal ber-
batasan langsung dengan garis depan Mata-
ram, semua prihatin dengan kedemanganmu...
DEMANG PATALAN
: Langsung masuk Mataram atau
tidak?
BARU KLINTING
: Akan datang masanya masuki
Mataram dengan tangan berlenggang. Tidak
sekarang. Senapati masih terjaga oleh berla-
pis-lapis balatentara, benteng batu-bata,
dusun-dusun bersenjata sekitar benteng, sebe-
rangi Code, Gajah Wong sebelum sampai ke
istana. Biar dulu Mataram terpagari dari sela-
tannya...
DEMANG PATALAN
: Siapa tidak percaya? Di medan
perang Klinting perwira, di Perdikan Klinting
bijaksana, Ronggeng Jaya Manggilingan
dengan dua puluh gegeduk bikin porak-poranda
Mataram. Tapi hari Mataram belum dapat dihi-
tung dengan jari. Bukan waktunya untuk
bersuka. Kerahkan balatentara Mangir, biar
bersuka dalam benteng Mataram, berjoged
ronggeng dalam asrama.
DEMANG PANDAK
: Jangan bicara lagi tentang si
tandak. Wanabaya juga hidup dari semua, tak
berhak bersuka sendiri.
DEMANG JODOG
: Biar betapa pun Mataram akan
jatuh. Jangan biarkan Patalan dan Pandak tidak
mengerti, Klinting. Biar Mataram tak bisa dihi-
tung dengan jari, bisa dibilang dengan bebera-
pa kali tenggelamnya matari. Bodoh nian bila
tidak sembari berpesta bersukaria.
DEMANG PAJANGAN
: Kau kehilangan lidahmu,
Klinting.
DEMANG JODOG
: Bukan kehilangan lidahnya, Klinting
benar kan Wanabaya.
DEMANG PANDAK
: Benarkan Wanabaya? Tidak bisa!
Tidak bisa!
DEMANG JODOG
: Klinting tak benarkan berhati panas
serbu Mataram.
DEMANG PATALAN
: Diam!
BARU KLINTING
: Adakah kalian timbang, dengan
menggereki si tandak, Wanabaya belah dua
hatinya?
DEMANG PATALAN
: Pasti belah dua, untuk perang
dan untuk Adisaroh si tandak.
DEMANG PANDAK
: Tidak bisa, tidak bisa, Wanabaya
tetap panglima terbaik satu-satunya, hanya...
DEMANG PAJANGAN
: Kau akui hak Wanabaya,
Klinting? Dengan bersuka, dia akan lekang di
medan-perang
DEMANG PANDAK
: Tidak bi...
BARU KLINTING
: Belum selesai kalian bertengkar?
DEMANG PATALAN
: Baik, memang tepat pada wak-
tunya kau bicara.
BARU KLINTING
: Dengarkan sekarang. Memang
Patalan di tempat terdekat dengan Mataram.
Dia berhak dapatkan perhatian lebih banyak.
Mangir dan Pajangan berbentengkan sungai
Bedog. Itu bukan berarti untuk Patalan semua
harus pukul Mataram tanpa perhitungan.
DEMANG PATALAN
: Aku mengerti, kau tak setuju
itu. Tapi Ki Wanabaya bermain berahi, dalam
keadaan belum selesai.
BARU KLINTING
: Untuk bersuka sekedarnya tak ada
celanya. Dia berhak sebagai panglima, telah
selamatkan kalian semua, kedemangan dan
semua rakyatnya.
DEMANG PAJANGAN
: Jodog, Klinting benarkan kita.
BARU KLINTING
: Aku tidak benarkan Wanabaya,
72
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
selama dia hanya bersuka sekedarnya.
DEMANG PATALAN
: Dia bukan sekedar bersuka.
Katakan itu, Pandak.
DEMANG PANDAK
: Betul dia bukan sekedar bersuka.
Nafasnya terdengar berat, matanya berpan-
dangan jalang.
BARU KLINTING
: Benarkah itu, Jodog dan Pajangan?
DEMANG JODOG
: Siapa tidak terengah-engah di
dekat si jelita semacam itu? Tapi sungguh mati,
hati Wanabaya takkan terbelah dua.
DEMANG PANDAK
: Siapa tahu hati orang? Nyatanya
nafasnya berat pandangnya jalang.
BARU KLINTING
: Kalian semua sudah dengar kata-
kataku. Kenyataan tinggal pada Wanabaya
sendiri. Panggil dia kemari.
DEMANG PATALAN
: Takkan beranjak dari tempat
dia sebelum gong terakhir berhenti.
BARU KLINTING
: Panggil dia kemari!
DEMANG JODOG
:
(pergi ke seben memberi perintah
kemudian kembali menghampiri Baru Klinting).
Orang sudah lari memanggilnya.
DEMANG PATALAN
: Mari kita periksa hatinya.
DEMANG PANDAK
: Aku dengar gamelan telah ber-
henti.
DEMANG PATALAN
: Dengarkan sebelum Wana-
baya, Ki Ageng Mangir Muda, tiba. Patalan
belum akan diam. Dengarkan. Dalam setiap
karya pen ting dan bahaya, Klinting, kau selalu
ada di muka. Dalam setiap suka kau meng-
hilang entah ke mana. Sekarang Wanabaya di
puncak suka, kau ragu termangu-mangu. Kau
juga perjaka, sayang tak setampan Wanabaya.
Lihat ini buktinya...
(menuding ke arah
jalanan).
Semua
–
(terdiam mengikuti arah tudingan)
.
BARU KLINTING
dan
DEMANG PANDAK
:
(terbelalak).
DEMANG PANDAK
: Nah kau lihat sendiri, Pajangan.
DEMANG JODOG
: Benar ini keliru. Yang begitu tak
dapat ditenggang.
DEMANG PAJANGAN
:
(menepuk Demang Jodog).
Bagaimana bisa jadi begitu?
Kepala seorang
- (menongol dari seben):
Baru
Klinting, Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda, datang.
(meninggalkan
.
panggung).
DEMANG PATALAN
: Apa kau bilang sekarang, Klinting?
BARU KLINTING
:
(bersilang tangan memperhatikan
jalanan) .
Jangan sambut dia.
DEMANG PANDAK
: Adakah dia dibawa kemari diajak
berunding tentang perang?
DEMANG JODOG
: Memang tidak patut untuk seorang
panglima...
BARU KLINTING
: Memang tidak patut, yang pandai
berperang tapi tak pandai pimpin diri sendiri.
Diam semua sekarang, Wanabaya sudah mulai
naiki tangga.
WANABAYA
dan
PUTRI PAMBAYUN
:
(memasuki
panggung, bergenggaman tangan, teracukan
secara demonstratif ke depan untuk dilihatsemua
orang).
WANABAYA
: Inilah Ki Ageng Mangir Muda
Wanabaya, datang menggandeng tandak tanpa
tandingan.
(menatap mereka seorang demi
seorang).
Tak ada yang menyambut Ki
Wanabaya? Baik Adisaroh yang jaya, berilah
hormat pada para tetua Perdikan.
PUTRl PAMBAYUN
:
(tetap dalam gandengan Wana-
baya).
Inilah Adisaroh Waranggana bayaran,
mengembara dari desa ke desa mencari peng-
hidupan.
(memberi hormat dengan gerak ba-
dan).
Di belakang menyusul rombongan wiyaga.
TUMENGGUNG MANDARAKA, PANGERAN
PURBAYA, TUMENGGUNG JAGARAGA,
dan
TUMENGGUNG PRINGGALAYA
:
(masuk ke
panggung dalam pakaian samaran orang desa,
berdiri di belakang Putri Pambayun, memberi
hormat secara Perdikan pada tetua Perdikan).
BARU KLINTING
: Dirgahayu kalian semua, Mangir
selalu sambut tamu-tamunya, dengan gembira
dan tulus hati. Dirgahayu Adisaroh, warang-
gana tanpa tara dan rombongan.
(mengangkat
dagu menatap Wanabaya).
Dan kau, wajahmu
merah seperti masih di medan-perang, meng-
gandeng putri cantik di hadapan kami. Katakan
kandungan hati, sebelum salah terka kami me-
nebak isi dadamu.
DEMANG PATALAN, DEMANG JODOG, DEMANG
PAJANGAN,
dan
DEMANG PANDAK
:
(bergerak mengelilingi Wanabaya dan Putri Pam-
bayun, menaksir dan menimbang-nimbang).
WANABAYA
:
(masih tetap menggandeng Putri
Pam-bayun).
Kalian terlongok-longok seperti
melihat naga. Mata kalian pancarkan curiga
dan hati tak suka. Katakan, siapa tak suka Wa-
nabaya datang menggandeng perawan jelita.
Katakan, ayoh katakan siapa tidak suka.
DEMANG PATALAN
:
(menghampiri Wanabaya).
Sungguh tidak patut, seakan Perdikan tak bisa
berikan untukmu lagi.
WANABAYA
: Siapa lagi akan katakan tidak patut?
DEMANG PANDAK
: Tidak patut untuk seorang pang-
lima.
73
Bab 6 Drama I
DEMANG JODOG
: Semula kukira sekedar bersuka.
DEMANG PAJANGAN
: Benar Patalan, kalau berkem-
bang begini rupa.
WANABAYA
: Juga akan kau katakan tidak patut?
DEMANG PANDAK
: Juga tidak patut untuk seorang
Tua Perdikan.
DEMANG PAJANGAN
: Waranggana masyhur, leng-
gangnya membelah bumi, lenggoknya menye-
sak dada, senyumnya menawan hati, tariannya
menggemaskan, sekarang tingkahnya bikin
susah semua orang.
WANABAYA
: Siapa yang jadi susah karena dia?
DEMANG JODOG
: Jantannya tampan, gagah-berani
di medan-perang. Klinting, bukankah sayang
kalau dia tak bisa pimpin diri sendiri.
BARU KLINTING
: Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda,
bukan hanya perkara suka atau tidak, patut
atau tidak, bisa pimpin diri sendiri atau tidak,
kau sendiri yang lebih tahu! Perdikan ini milik
semua orang, bukan hanya Wanabaya Muda
si Tua Perdikan Mangir.
WANABAYA
: Kalau bukan aku yang pimpin perang,
sudah kemarin dulu kalian terkapar di bawah
rumput hijau.
BARU KLINTING
:
(tertawa, membalik badan
punggungi Wanabaya).
DEMANG PATALAN
: Dia lupa, semua membikin dia
jadi Tua Perdikan dan panglima perang. Sen-
diri, Wanabaya tak ada arti, sebutir pasir ber-
kelap-kelip sepi di bawah matari.
TUMENGGUNG MANDARAKA
: Adisaroh, mari kita
pergi. Mereka bertengkar karena kita.
WANABAYA
:
(menoleh pada Tumenggung Man-
daraka).
Tak ada yang bisa larang Wanabaya
di rumah ini, menggandeng Adisaroh jaya.
Adisaroh, adakah takut kau hadapi para tetua
desa ini?
PUTRI PAMBAYUN
: Dalam gandengan tangan Ki
Wanabaya Muda, bahkan di bawah bayang-
bayangnya, semut pun tiada kan gentar.
WANABAYA
: Benar sekali, semut pun tiada kan
kecut.
(mengangkat gandengan tinggi-tinggi).
Inilah Adisaroh, perawan waranggana kubawa
kemari akan kuambil untuk diriku sendiri.
BARU KLINTING
:
(melangkah maju menghampiri Putri
Pambayun).
Dari mana asalmu, kau, perawan?
TUMENGGUNG MANDARAKA
: Anakku dia, penari
tanpa tandingan dari berpuluh desa.
BARU KLINTING
: Penari tanpa tandingan dari
berpuluh desa. Siapa tak percaya? Bicara de-
ngan mulut-mu sendiri, kau, perawan jelita!
PUTRI PAMBAYUN
: Adapun diri ini, dari sebuah
dukuh sebelah timur, seberang tujuh sungai.
WANABAYA
:
(menggerutu).
Dia periksa Adisaroh
seperti pada anaknya sendiri.
BARU KLINTING
: Mengapa ikut naik ke pendopo ini?
WANABAYA
: Apa guna bertanya-tanya? Ki Wana-
baya sudah suka.
PUTRI PAMBAYUN
: Digandeng Ki Ageng Mangir
Muda begini, siapa dapat lepaskan diri?
DEMANG JODOG
:
(mengejek).
Datang dengan Ki
Ageng Mangir Muda dengan semau sendiri.
DEMANG PANDAK
: Siapa yang dulu suka? Wana-
baya ataukah kau?
DEMANG PAJANGAN
:
(pada Baru Klinting).
Nampak-
nya dua-duanya.
DEMANG PATALAN
: Memang tak ada salahnya per-
jaka dan perawan saling kasmaran,
(mengham-
piri Wanabaya),
tetapi Perdikan bukan milikmu
pribadi.
DEMANG PANDAK
: Membawa wanita milik semua
pria...
TUMENGGUNG MANDARAKA
: Anakku bukan tandak
sembarang waranggana, dididik baik tahu
adab, terlatih tahu sopan setiap waktu, setiap
saat.
DEMANG PATALAN
: Seperti bukan prajurit perang,
tak dapat kendalikan diri lihat kecantikan, jatuh
kasmaran lupa daratan.
WANABAYA
:
(tersenyum).
Ayoh, katakan semua.
Juga kau, Klinting, apa guna sembunyi di bela-
kang lidah yang lain?
BARU KLINTING
: Bicaralah kau sepuas hati.
DEMANG PATALAN
: Biar kami tahu apa di hatimu,
bisa kami kaji dan uji-Oh, perang belum lagi sele-
sai, kemenangan belum lagi terakhir... Kasmaran
tandak lupa daratan, Mataram masih jaya berdiri.
WANABAYA
: Mataram? Apa daya Panembahan
Senapati di hadapan Wanabaya Muda? Supit
Urangnya telah buyar tertadahi Ronggeng Jaya
Manggilingan. Hendak mengepung ganti terke-
pung. Dilepaskannya Dirada Keta, gajah yang
mengamuk tumpas masuk dalam perut Rong-
geng. Bila dusun-dusun luar benteng kita pukul
hari ini...
TUMENGGUNG MANDARAKA
:
(tertawa terkekeh).
Mataram? Apa arti Mataram? Dijentik dengan
kelingking kiri, akan runtuh dia seperti seung-
guk nasi basi.
DEMANG PANDAK
: Diam kau, Pak Tua tak tahu diri.
Padamu belum ada orang tanyakan perkara.
(pada Wanabaya)
Wanabaya Muda, Ki Ageng
Mangir Muda, bukankah kau datang untuk da-
74
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
patkan anggukan dari Baru Klinting? Tak patut
kau sekasar itu padanya. Pergi kau padanya,
tahu diri kalau butuh anggukan.
DEMANG PATALAN
:
(menggerutu).
Perang pun
belum diselesaikannya...
WANABAYA
:
(menggandeng Putri Pambayun
meng-hampiri Baru Klinting):
Lihatlah ini,
Klinting, Ki Ageng Mangir Muda datang padamu
menggandeng dara waranggana, untuk dapat-
kan anggukan kepala darimu, dari Baru Klinting
sang bijaksana.
BARU KLINTING
: Seperti Mataram miskin putri
rupawan. Bedah dulu kratonnya dan kau boleh
pondong semua perawannya.
WANABAYA
: Yang seorang dalam gandengan
tangan ini, Klinting, berlaksa lebih berharga dari
semua putri, dari semua jenis wanita, di
seluruh Mataram, di seluruh bumi. Wanabaya
Ki Ageng Mangir Muda hanya hendaki yang ini.
DEMANG PATALAN
:
(menghampiri Wanabaya,
menyerang).
Belum lagi kau injakkan kaki di
kraton Mataram – putri-putrinya tak pernah
menggarap bumi, dibesarkan hanya untuk ke-
puasan pria, halus tak pernah kerja, tak kena
sinar surya.
BARU KLINTING
: Dengarkan kata Demang Patalan.
WANABAYA
: Ki Ageng Mangir Muda telah
dengarkan semua. Hanya yang ini di atas
segala-galanya. Tak pernah Wanabaya sukai
wanita. Sekali diperolehnya, tak ada yang
mampu kisarkan kemauannya.
BARU KLINTING
:
(meninggalkan Wanabaya dan Putri
Pambayun).
Hanya mata buta dan hati batu
tak tergiur cair lihat Adisaroh waranggana.
DEMANG PATALAN
:
(mengikuti Baru Klinting,
menegur)
Klinting!
BARU KLINTING
: Apa pula kau, Patalan. Lihat,
menang atas Mataram masih dalam impian,
kecantikan dan kemudaan telah tergandeng di
tangan.
DEMANG PATALAN
: Apa kau akan berikan anggukan?
DEMANG PANDAK
:
(menghampiri Baru Klinting dari
samping).
Siapa pun takkan rela wanita sejelita
itu tergenggam pria selain Wanabaya. Apakah
Mataram akan jadi petaruh?
WANABAYA
: Klinting, kau belum lagi memberikan
anggukan kepala.
BARU KLINTING
:
(mendekati Putri Pambayun).
Di
hadapan tetua dan gegeduk rata Mangir kau
gandeng Ki Wanabaya Muda. Kau, perawan
dari tujuh sungai seberang timur, berapa pria
telah kau remas dalam tanganmu?
PUTRI PAMBAYUN
: Ini yang pertama.
BARU KLINTING
: Tak patut berbohong di hadapan
para tetua. Bukankah semua lihat, bukan kau,
hanya Wanabaya gemetar tanpa daya dalam
gandengan?
TUMENGGUNG MANDARAKA
: Ki Ageng Mangir
Muda yang pertama dan satu-satunya. Orang
setua aku berani sumpah sampai mati.
(meno-
leh pada rombongannya).
Katakan, teman-
teman wiyaga.
PANGERAN PURBAYA
: Sejak bayi dalam
penjagaanku, sampai besar tak pernah lepas
dari mataku.
TUMENGGUNG JAGARAGA
: Semua pengganggu
tunggang-langgang oleh lidah, oleh tanganku.
TUMENGGUNG PRINGGALAYA
: Pontang-panting,
lintang-pukang oleh sepakan kakiku.
DEMANG PANDAK
: Bersahut-sahut seperti burung
di pagi-hari.
BARU KLINTING
:
(bersilang tangan menghampiri
rombongan wiyaga, menatap mereka seorang
demi seorang. Pada Demang Jodog).
Laku me-
reka seperti pedagang ikan, berjual bangkai
berbunga puji.
DEMANG JODOG
:
(berisik dengan tangan tercorong
pada mulut pada Baru Klinting).
Aku pun jadi
curiga.
WANABAYA
: Anggukanmu belum kulihat, Klinting.
Juga kalian, Pantalan, Jodog, Pandak, dan Pa-
jangan. Keliru kalau kalian anggap, aku datang
menggandeng perawan ini, untuk mengemis
sepotong kemurahan. Dara Adisaroh hanya un-
tukku seorang. Bumi dan langit tak kan bisa
ingkari.
(pada Putri Pambayun).
Sejak detik ini
kau tinggal di sini, jadi rembulan bagi hidupku,
jadi matari untuk rumahku.
TUMENGGUNG MANDARAKA
: Ki Ageng Mangir
Muda Wanabaya, siapa tidak gembira jadi
mertua, dapatkan menantu panglima perang
masyhur gagah-berani, tua Perdikan Mangir?
Hanya saja belum tepat caranya. Adisaroh
anakku bukan anak burung, bisa diambil dari
sarang di atas pohon.
PANGERAN PURBAYA
:
(meninggalkan rombongan,
menghampiri Wanabaya)
Sungguh tidak tepat
caranya. Adisaroh bukan selembar daun ke-
ring, tertiup angin jatuh di mana saja.
(pada
Tumenggung Jagaraga).
Aku belum bisa teri-
75
Bab 6 Drama I
ma, anak momongan direnggut seperti rumput.
TUMENGGUNG JAGARAGA
: Tanpa Adisaroh wa-
ranggana, nasib rombongan akan berantakan,
buyar, masing-masing akan terpaksa pergi ter-
bungkuk membawa lapar.
WANABAYA
: Takkan kubiarkan kalian lapar. Seluruh
rombongan jadi tanggungan di tangan Ki
Ageng. Harap jangan kalian anggap rendah
Wanabaya Muda. Biar bukan raja, aku masih
jaya berlumbung daya.
TUMENGGUNG MANDARAKA
:
(berunding dengan
isyarat dengan rombongangannya; terbatuk-
batuk minta perhatian).
WANABAYA
:
(pada Tumenggung Mandaraka).
Bapak tua, kau lihat sendiri, Adisaroh sambut
tanganku dengan suka sendiri.
(memperlihat-
kan gandengan tangan).
Wanabaya tidak
lepaskan, Adisaroh mengukuhi.
TUMENGGUNG MANDARAKA
: Kapan dimulai sebuah
adat, orang tua disisihkan tanpa diajak damai?
DEMANG PATALAN
: Lihat Klinting, mereka anggap
para tetua ini angin belaka.
DEMANG PANDAK
: Dan kau belum atau tidak berikan
anggukan kepala.
WANABAYA
:
(sekali lagi mengangkat tinggi gan-
dengan).
Lihatlah ini, aku genggam tangannya,
dia genggam tanganku.
(memperlihatkan pada
setiap orang).
Siapa ingkari kenyataan ini?
BARU KLINTING
: Biarkan Wanabaya curahkan isi
hatinya.
TUMENGGUNG MANDARAKA
: Apapun terjadi, bumi
dan langit memang tak bisa ingkari, tali hu-
bungan telah terjadi. Hanya caranya belum ter-
puji.
(pada Putri Pambayun)
Bicaralah kau,
perawan, biar terdengar oleh semua tetua
Perdikan.
PUTRI PAMBAYUN
:
(tanpa ragu-ragu).
Inilah diri,
dalam gandengan Ki Ageng Mangir Muda
Wanabaya. Telah diulurkan tangannya kepada-
ku, dan aku menyambutnya. Apalagi masih ha-
rus dikatakan? Hendak diambilnya aku untuk
dirinya sendiri semata.
DEMANG PANDAK
: Bukan begitu cara bicara perem-
puan desa.
PUTRI PAMBAYUN
: Inilah diri, dari dukuh seberang
tujuh sungai sebelah timur.
PANGERAN PURBAYA
: Tak cukup hanya diambil
untuk dirinya sendiri semata.
DEMANG PATALAN
: Hendak diambilnya untuk
dirinya sendiri semata, seakan seorang tandak
pernah hanya untuk seorang saja.
PANGERAN PURBAYA
: Jangan menghina! Belum
lagi kami setujui maksud Ki Wanabaya Muda.
WANABAYA
:
(pada Tumenggung Mandaraka)
Begini cara di Perdikan Mangir: semua tergan-
tung pada yang muda, orang tua hanya setuju
mengiyakan. Katakan padanya, Klinting, di sini
tak ada cara lebih terpuji daripada begini.
DEMANG PATALAN
: Kita semua bicara tentang
nasib Mangir, nasib Mataram, hanya Wanabaya
dan rombongan waranggana sibuk tawar-me-
nawar.
(pada Baru Klinting)
Kau hanya punya
kata-putus, putuskan sekarang juga, sebelum
berlarut menjadi bencana.
BARU KLINTING
: Juga Wanabaya punya hak bicara,
tak semestinya kita lindas hasrat dalam hatinya.
Apa jadinya sungai yang tak boleh mengalir?
Dia akan mengamuk melandakan banjir.
DEMANG PATALAN
: Tak bisa aku tunggu begini lama.
BARU KLINTING
: Patalan takkan dilanda Mataram
dalam sebulan ini. Lakumu seperti tertimpa ke-
bakaran.
WANABAYA
: Klinting, patutkah seorang tua Per-
dikan dan panglima dibiarkan menunggu begini
lama?
DEMANG PANDAK
: Jangan berikan anggukan.
DEMANG PATALAN
: Biar Mataram lebih dulu
dibereskan.
DEMANG JODOG
: Kau sendiri Wanabaya Muda,
mulaikah perang kau lupakan?
WANABAYA
: Tak patut panglima diuji seperti itu.
DEMANG PATALAN
: Menjawab pun kau tidak sudi.
Berat mana Mataram atau Adisaroh warang-
gana?
WANABAYA
: Pertanyaan-pertanyaan ini, apakah
berarti Wanabaya bukan panglima lagi?
DEMANG PATALAN
: Benar kata Pajangan, men-
jawab pun kau tidak sudi. Kau lihat itu sendiri,
Klinting.
WANABAYA
:
(melepas gandengan, maju menan-
tang para demang seorang demi seorang).
Dengarkan kalian, orang-orang nyinyir, tak
mengerti perkara perang. Setajam-tajamnya
senjata, bila digeletakkan takkan ada sesuatu
terjadi. Sebagus-bagusnya panglima perang,
bila ditinggalkan senjata dan balatentara sebe-
sar-besar pasukan akan binasa. Apakah belum
mengerti ini?
BARU KLINTING
: Wanabaya Muda, kau mulai me-
76
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
meras untuk dibenarkan, untuk dapat ang-
gukan. Kau yang diasuh oleh Perdikan sejak
pertama kali melihat matari, hatimu mulai ter-
belah hanya karena waranggana.
WANABAYA
: Aku datang bukan untuk dituduh diseli-
diki. Aku butuhkan anggukan, bukan gelengan.
Kalau gelengan aku dapatkan jangan sesali Ki
Wanabaya Muda ini.
BARU KLINTING
: Ingat kalian apa aku katakan tadi?
DEMANG PANDAK
: Benar, seorang panglima yang
tak dapat pimpin diri sendiri...
WANABAYA
: Diam kau, Pandak, Wanabaya Muda
tak butuhkan suaramu.
DEMANG PATALAN
: Benar hatinya telah belah dua.
DEMANG JODOG
: Menyesal aku telah biarkan dia
bersuka...
BARU KLINTING
: Lebih berat bagimu Adisaroh wa-
ranggana.
PANGERAN PURBAYA
: Adisaroh adinda, mari ting-
galkan rumah sengketa ini.
WANABAYA
: Diam kalian rombongan wiyaga! Kalau
tak mampu bantu Adisaroh dan aku, jangan
melintang di tengah jalan Ki Wanabaya Muda.
BARU KLINTING
: Melihat ini, bagimu Adisaroh
waranggana sama bobot dalam timbangan
dengan perang. Kalau bukan berhati belah,
hatimu ti-dak satu lagi.
DEMANG PATALAN
: Satu hati dengan satu kese-
nangan.
BARU KLINTING
:
(menuding Wanabaya)
Bagi dia
perang dan Adisaroh memang kesenangan.
WANABAYA
:
(melepaskan gandengan pada Putri
Pambayun, menghadap Baru Klinting; tapi tak
keluar suara dari mulutnya).
BARU KLINTING
: Demang Pajangan, bawa Adisaroh
dan rombongan ke belakang, biar kita selesai-
kan perkara Ki Wanabaya Muda ini.
DEMANG PAJANGAN
:
(mengiringkan).
PUTRI PAMBAYUN, TUMENGGUNG MANDARAKA,
PANGERAN PURBAYA, TUMENGGUNG
JAGARAGA,
dan
TUMENGGUNG PRING-
GALAYA
:
(meninggalkan panggung).
BARU KLINTING
: Memalukan – seorang panglima,
karena kecantikan perawan telah relakan per-
pecahan. Berapa banyak perawan cantik di
atas bumi ini? Setiap kali kau tergila-gila seperti
seekor ayam jantan, tahu sarang tapi tak kenal
kandang.
WANABAYA
: Telah kalian cemarkan kewibawaan
Wa-nabaya Muda di hadapan orang luar. Kalian
sendiri yang relakan perpecahan.
BARU KLINTING
: Jawab keangkuhannya itu Patalan!
DEMANG PATALAN
: Kau kira kewibawaan datang
padamu dari leluhur dan dewa-dewa? Dia
datang padamu berupa pinjaman dari Perdikan
Mangir, desamu.
BARU KLINTING
: Tanpa Mangir desamu kau juga
selembar daun yang akan luruh di mana saja.
Jatuh di Mataram kau akan ikut perangi kami.
Kebetulan di Mangir kau perangi Mataram.
DEMANG PATALAN
: Dia belum mengerti, kepang-
limaan bisa batal dari dirinya. Tidak percuma
orang tua-tua tak boleh diabaikan penga-
lamannya.
DEMANG PANDAK
: Kalau kita benarkan tingkahnya,
semua perjaka Mangir dan desa-desa tetangga
akan tiru contohnya. Semua perawan akan
tinggalkan desa, mengamen cari lelaki siapa
saja.
DEMANG PAJANGAN
:
(masuk ke panggung)
Te l a h
kutempatkan mereka di gandok sana. Adisaroh
dalam bilik dalam, rawatan nenek tua.
BARU KLINTING
: Perang belum lagi selesai, kau beri
semua tambahan kerja. Apakah itu patut untuk
seorang panglima?
WANABAYA
: Sudah kudengar semua suara keluar
dari mulut kalian. Juga dalam perkara ini aku
seorang panglima. Jangan dikira kalian bisa
belokkan Wanabaya. Sekali Wanabaya Muda
hendaki sesuatu, dia akan dapatkan untuk sam-
pai selesai.
DEMANG PATALAN
: Kau tak lagi pikirkan perang.
WANABAYA
: Sudah kalian lupa apa kata Wanabaya
ini? Hanya setelah Wanabaya rebah di tanah
dia takkan bela Perdikan lagi? Lihat, Wanabaya
masih tegak berdiri.
DEMANG PANDAK
: Biasanya kau rendah-hati, sehari
dengan Adisaroh, kau berubah jadi pongah,
tekebur bermulut nyaring, berjantung kem-
bung.
WANABAYA
: Diam, kau yang di bawah perintahku di
medan perang, tidak percuma Wanabaya disebut
Ki Ageng Mangir Muda, tidak sia-sia Mangir
angkat dia jadi tua Perdikan dan panglima.
DEMANG JODOG
: Benar, dia sudah berubah, Patalan.
WANABAYA
: Suaranya yang berubah, hati dalam
dadanya tetap utuh seperti Laut Kidul.
BARU KLINTING
: Suaranya berubah sesuai dengan
77
Bab 6 Drama I
hatinya.
WANABAYA
:
(bergerak ke arah jagang tombak).
DEMANG PAJANGAN
:
(mengambill mata tombak
dari atas meja dan diselitkan pada tentang
perutnya).
BARU KLINTING
: Apa guna kau coba dekati jagang
tombak? Hanya karena wanita hendak roboh-
kan teman sebarisan? Tidakkah kau tahu, de-
ngan jatuhnya semua temanmu kau akan
diburu-buru Mataram seperti babi hutan?
DEMANG JODOG
: Tenang kau, Wanabaya. Buka hati-
mu, biar semua selesai sebagaimana dikehen-
daki. Memang perjaka berhak dapatkan pera-
wan, tapi bukan cara berandalan macam itu,
apa pula bagi seorang panglima. Bukankah aku
tidak keliru, Klinting sang bijaksana.
BARU KLINTING
:
(bersilang tangan, mengangguk-
angguk).
DEMANG PANDAK
: Aku masih belum bisa terima,
Ki Ageng Mangir Muda mengajak bertengkar
di depan orang luar hanya untuk tunjukkan wi-
bawa, di depan Adisaroh dan rombongannya.
BARU KLINTING
: Karena mudanya dia ingin berlagak
kuasa, memalukan seluruh Perdikan. Tiadakah
kau merasa bersalah pada teman-temanmu
sendiri, kau, Ki Ageng Mangir Muda. Wana-
baya?
Semua
–
(datang melingkari Wanabaya)
.
BARU KLINTING
: Jawab: apakah artinya Wanabaya
tanpa Perdikan tanpa balatentara? Tanpa te-
man-temanmu sendiri, tanpa kewibawaan
yang dipinjamkan?
WANABAYA
: Di atas kuda dengan tombak di tangan,
bisa pimpin balatentara, menang atas Mata-
ram, Perdikan harus berikan segala kepadaku.
BARU KLINTING
: Tuntut semua untukmu di tempat
lain! Ludah akan kau dapatinya pada mukamu.
Kau boleh pergi dan coba sekarang juga.
WANABAYA
:
(menatap para tetua seorang demi
seorang).
Kalian hinakan Wanabaya Muda.
BARU KLINTING
: Tanpa semua yang ada, kau, jawab
sendiri. Kau, Wanabaya, apa kemudian arti
dirimu?
WANABAYA
:
(membuang muka, merenung, bicara
pada diri sendiri).
Sekarang mereka pun dapat
usir aku. Apakah kemudian aku jadi anggota
waranggana? Berjual suara dari desa ke desa?
Dari panglima jadi tertawaan setiap muka?
Adisaroh pun boleh jadi tolak diriku pula?
BARU KLINTING
: Jawab, kau, kepala angin! Kau ang-
gap semua ini bayang-bayang semata?
WANABAYA
:
(berendah hati).
Apakah Wanabaya
tak berhak punya istri?
BARU KLINTING
: Hanya untuk bertanya seperti itu
lagakmu seperti dunia sudah milikmu sendiri.
Jawab, kalian, pertanyaan bocah ingusan ini.
DEMANG JODOG
: Tak ada yang sangkal hak setiap
perjaka.
DEMANG PAJANGAN
: Aku pun tak rela Adisaroh
jatuh tidak di tangan kau.
DEMANG PATALAN
: Juga menjadi hakmu leburkan
Mataram.
WANABAYA
: Dengar kalian semua: terhadap
Mataram sikap Wanabaya tak berkisar barang
sejari. Izinkan aku kini memperistri Adisaroh.
Tanpa mendapatkannya aku rela kalian tumpas
di sini juga. Jangan usir aku, terlepas dari
Perdikan ini. Beri aku anggukan, Klinting, dan
kalian para tetua, gegeduk rata Mangir yang
perwira.
(berlutut dengan tangan terkembang
ke atas pada orang-orang di hadapannya).
Aku
lihat tujuh tombak berdiri di jagang sana. Tem-
buskanlah dalam diriku, bila anggukan tiada
kudapat. Dunia jadi tak berarti tanpa Adisaroh
dampingi hidup ini.
BARU KLINTING
: Terlalu banyak kau bicara tentang
Adisaroh. Kurang tentang Mangir dan Mataram.
Siapkan tombak-tombak! Lepaskan dari sa-
rungnya.
Para demang
– mengambil tombak dari jagang,
mengepung Wanabaya dengan mata tombak diacukan
padanya.
BARU KLINTING
: Tombak-tombak ini akan tumpas
kau, bila nyata kau punggungi leluhur, berbelah
hati pada Perdikan, khianati teman-teman dan
semua. Bicara kau!
WANABAYA
:
(menatap ujung tombak satu per satu,
dan mereka seorang demi seorang).
Dengarkan
leluhur suara darahmu di atas bumi ini, darah-
mu sendiri yang masih berdebar dalam tubuh-
ku, Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya. Darah
ini tetap murni, ya leluhur di alam abadi, seperti
yang lain-lain, lebih dari yang lain-lain dia sedia
mati untuk desa yang dahulu kau buka sendiri,
untuk semua yang setia, karena dalam hati ini
hanya ada satu kesetiaan. Tombak-tombak biar
tumpas diri, kalau tubuh ini tak layak didiami
darahmu lagi.
DEMANG PATALAN
:
(melemparkan tombak ke
dekat rana, menolong Wanabaya berdiri).
Katakan, Adisaroh takkan bikin kau ingkar pada
78
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
Perdikan.
WANABAYA
: Adisaroh takkan bikin Wanabaya
ingkar pada Perdikan.
BARU KLINTING
: Kau akan tetap melawan Mataram.
WANABAYA
: Leluhur dan siapa saja yang dengar,
inilah Wanabaya, akan tetap melawan Ma-
taram.
DEMANG PATALAN
: Membela semua kedemangan
sahabat Mangir.
WANABAYA
: Membela semua kedemangan sahabat
Mangir.
DEMANG JODOG
: Dengan atau tanpa Adisaroh kau
tetap setiawan.
WANABAYA
: Dengan atau tanpa Adisaroh
Wanabaya tetap setiawan.
DEMANG PAJANGAN
: Setiawan sampai mati.
WANABAYA
: Setiawan sampai mati.
DEMANG PANDAK
: Baru Klinting, bukankah patut
sudah dia dapat anggukan? Tunjukan matamu
pada Klinting, kau, Wanabaya.
BARU KLINTING
: Lihatlah betapa semua temanmu
ikut pikirkan kepentinganmu.
WANABAYA
: Aku telah bersalah, Baru Klinting yang
bijaksana!
BARU KLINTING
: Lihatlah aku.
(mengangguk perla-
han-lahan).
Para demang
-
(merangkul Wanabaya)
BARU KLINTING
: Pergi kau dapatkan pengantimu.
WANABAYA
:
(ragu meninggalkan panggung dalam
iringan mata semua yang ditinggalkan).
BARU KLINTING
: Kita semua masih curiga siapa
waranggana dan rombongannya. Kalau ada
Suriwang, dia akan bilang: Ai-ai-ai memang
tak bisa lain. Tanpa Wanabaya cerita akan
mengambil suara lain. Dilarang dia pun akan
berkembang lain. Pukul tengara, pertanda pesta panen boleh
dibuka.
Sumber:
Drama Mangir
karya Pramoedya Ananta Toer
6.2.36.2.3
6.2.36.2.3
6.2.3
Memberi T
Memberi T
Memberi T
Memberi T
Memberi T
anggapan untuk P
anggapan untuk P
anggapan untuk P
anggapan untuk P
anggapan untuk P
ementasan
ementasan
ementasan
ementasan
ementasan
DramaDrama
DramaDrama
Drama
Anda telah menonton pementasan
Drama Mangir
karya
Pramoedya Ananta Toer. Setelah pementasan drama, biasanya
dilakukan diskusi tentang pementasan tersebut. Diskusi tersebut berisi
tanggapan, saran, penilaian, terhadap hasil pementasan drama.
Tanggapan ini sangat berguna untuk pelaksanaan pementasan drama
1
Sebutkan tokoh-tokoh dalam drama yang dipentaskan!
2
Jelaskan watak tokoh-tokoh drama yang dipentaskan!
TABEL B
Bentuklah kelompok diskusi,
lalu diskusikan pertanyaan-
pertanyaan pada TABEL B dan
TABEL C!
Tulislah hasil diskusi Anda dalam
kertas folio dan kumpulkan!
79
Bab 6 Drama I
3
Jelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam drama!
4
Jelaskan konflik yang terjadi dalam drama yang dipentaskan!
Masalah
Pelaku Konflik
TABEL C
1
Berikan tanggapan Anda tentang pemain dalam pementasan drama tersebut!
2
Berikan tanggapanmu tentang lafal, intonasi, nada/tekanan, mimik/gerak
pemain dalam memerankan tokoh drama!
3
Berikan tanggapan Anda tentang tata letak panggung untuk pementasan!
4
Berikan tanggapan Anda tentang kostum yang digunakan dalam pementasan!
5
Berikan tanggapan Anda tentang hasil pengamatan Anda secara keseluruhan
terhadap pementasan drama tersebut!
80
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
di waktu lain.
Tanggapan terhadap pementasan drama dapat
ditinjau dari dua unsur, yaitu unsur drama dan unsur
pendukung pementasan drama. Unsur drama,
meliputi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur
pendukung pementasan meliputi pemain, panggung,
kostum, dan lain-lain.
I.
Pilihlah salah satu jawaban yang paling
tepat!
1. Ketegangan di dalam cerita rekaan atau drama
disebut ... .
a. peristiwa
d. konflik
b. tokoh
e. dialog
c. watak
2.
(i) Nuniek
: Bagaimana, Tien, Tonnymu?
Apa dia datang dari Jakarta?
(ii) Hastien : Datang sih sudah! Tapi dasar
lelaki, bosan aku berurusan de-
ngan dia. Lagi orang tuanya
yang bawel itu, malah menya-
lahkan saya.
(iii) Nuniek
: Lho! Emangnya yang salah
siapa?
(iv) Hastien : Ya, jelas dia dong. Kalau aku
enggak dikasih itu kan nggak
begini jadinya.
(v) Nuniek
: Kalau kamu nggak mau diajak
itu, pasti nggak begitu!
(vi) Hastien : Kau juga menyalahkan aku?
Sumber:
Kumpulan Drama Remaja
,
(Ed) A, Rumadi
Yang perlu diidentifikasi dalam pementasan dra-
ma adalah konflik, dialog, peristiwa, tokoh, dan watak
tokoh.
Unsur dalam drama seperti halnya dalam cerpen,
novel, maupun roman adalah dialog yang menjadi
ciri formal drama yang membedakannya dengan ben-
tuk prosa yang lain. Selain dialog, juga ada plot/alur,
karakter/tokoh, dan latar/setting. Apabila naskah dra-
ma dipentaskan harus dilengkapi dengan unsur gerak-
an, tata busana, tata rias, tata panggung, tata bunyi,
dan tata sinar.
Fungsi dialog dalam drama adalah melukiskan
watak tokoh-tokohnya, mengembangkan plot dan
menjelaskan isi cerita kepada penonton, memberikan
isyarat peristiwa yang mendahului maupun yang akan
datang, dan memberikan komentar terhadap peristi-
wa yang sedang terjadi dalam drama tersebut.
Pemilihan pemain harus didasarkan pada ke-
mampuan calon pemain untuk memerankan tokoh
tertentu, kesesuaian postur tubuh, tipe gerak, dan
suara calon pemain dengan tokoh yang akan diperan-
kannya.
Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam pemen-
tasan drama adalah sutradara sebagai pemimpin pe-
mentasan; penulis naskah/cerita; penata artistik yang
mengatur
setting, lighting
maupun properti; penata
musik yang mengatur musik, pengiring, dan efek-efek
suara; penata kostum yang merancang pakaian sesuai
dengan peran; penata rias, yang merancang rias sesu-
ai dengan peran; penata tari/koreografer yang mena-
ta gerak dalam pementasan, pemain, yang akan me-
merankan tokoh-tokohnya.
Dalam menanggapi pementasan drama ada dua
hal yang harus diperhatikan, yaitu unsur drama dan
unsur pendukung pementasan drama. Unsur drama
meliputi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur
pendukung pementasan meliputi pemain, panggung,
kostum, dan lain-lain.
81
Bab 6 Drama I
Berdasarkan kutipan drama di atas, dialog yang
yang menonjolkan watak tokoh Hastien adalah
... .
a. (i) dan (ii)
d. (i) dan (iv)
b. (ii) dan (iv)
e. (iv) dan (v)
c. (iii) dan (v)
3. Berdasarkan drama pada soal nomor 2,
penyebab konflik adalah ... .
a. Hastien
d. Hastien dan Tonny
b. Nuniek
e. Tonny
c. Hastien dan orang tuanya
4.
01. Nenek
:
(Bicara sendiri)
Ah, dasar!
Kayak nggak pernah ingat su-
dah pikun. Pekerjaannya tak ada
lain cuman bersolek. Dikiranya
masih ada gadis-gadis yang
suka mandang. Hmmmm.
(Mengambil cangkir, lalu
diminum)
02. Kakek
:
(Masuk)
Bagaimana kalau aku
pakai kopiah seperti ini, Bu?
03. Nenek
: Astaga! Tuan rumah mau pe-
siar ke mana menjelang ma-
lam begini?
04. Kakek
: Tidak ke mana-mana. Cuman
duduk-duduk saja, sambil mem-
baca koran.
05. Nenek
: Mengapa membaca koran mesti
pakai kopiah segala?
06. Kakek
: Agar komplet, Bu.
07. Nenek
: Yaaaaah. Waktu dulu kau jadi
juru tulis, empat puluh tahun
lampau... hebat sekali, me-
mang. Tapi sekarang, kopiah
hanya bernilai tambah peng-
hangat belaka.
08. Kakek
:
(Berjalan menuju ke meja,
mengambil koran, lalu pergi ke
sofa, membuka lembarannya)
09. Nenek
: Mengapa tidak duduk di sini?
10. Kakek
: Sebentar.
11. Nenek
: Ada berita rahasia?
12. Kakek
: Rahasia?
13. Nenek
: Habis kaubaca koran kenapa
nyendiri?
14. Kakek
: Malu.
15. Nenek
: Malu? Kau aneh. Malu pada
siapa?
16. Kakek
: Dilihat orang banyak tuuuuuh.
(Menunjuk penonton)
. Sudah
tua kenapa pacaran terus ... .
17. Nenek
:
(Berdiri, menghampiri Kakek,
lalu duduk di sebelahnya, lalu
menyandarkan kepalanya ke
bahu Kakek sebelah kiri)
18. Kakek
: Gila. Malah demonstrasi.
Sumber:
Kumpulan Drama Remaja
,
(Ed) A, Rumadi
Konflik awal yang terjadi dalam kutipan drama
di atas adalah ... .
a. Nenek menyindir Kakek yang sudah pikun
b. Kakek membaca koran sambil pakai kopiah
c. Nenek tidak suka Kakek menggunakan kopiah
d. Kakek marah karena sindiran Nenek
e. emat puluh tahun yang lalu Kakek menjadi
juru tulis
5. Berdasarkan drama pada soal nomor 4, dialog
yang mengandung kejenakaan adalah ... .
a. dialog 02
d. dialog 13
b. dialog 06
e. dialog 16
c. dialog 09
6. Berdasarkan drama pada soal nomor 4, dialog
yang mengandung keterangan gerak pelaku
adalah ... .
a. dialog 01, 02, 03, 04, dan 05
b. dialog 01, 03, 05, 07, dan 09
c. dialog 01, 02, 08, 16, dan 17
d. dialog 13, 14, 15, 16, dan 17
e. dialog 08, 10, 12, 14, dan 16
7. Berdasarkan drama pada soal nomor 4, latar
yang tidak tepat untuk mendukung pementasan
drama tersebut adalah ... .
a. rumah yang sudah tua
b. suasana pagi-pagi
c. suara kendaraan motor yang menderu
d. suara kicau burung di pagi hari
e. ruang tengah sebuah rumah
8. Berikut ini adalah hal-hal yang diperlukan dalam
pementasan drama,
kecuali
... .
a. penataan panggung yang sesuai
b. persiapan kostum
c. gedung pementasan yang megah
d. penghayatan pemain dalam memerankan
tokoh
e. penata musik
9. Abah
: Kalau cari suami harus yang jelas ma-sa
depannya, jangan seperti si Kaba-yan!
Iteung
: Tapi Kang Kabayan
mah
baik.
Nyaah
sama
Iteung.
Abah
: Baik? Baik apanya? Kalau memang
baik...pasti suka ngirim uang, paling
sedikit ngirim ikan kesenangan Abah. Ikan
82
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
gurame!
Ambu
: Abah
teh kumaha
. Apa-apa selalu saja
diukur
pake
uang.
Berdasarkan kutipan drama di atas, unsur budaya
yang menonjol adalah ... .
a. budaya Jawa
b. budaya Sunda
c. budaya Batak
d. budaya Betawi
e. budaya Padang
10. Berdasarkan drama pada soal nomor 9, watak
tokoh Abah adalah ... .
a. rendah hati
b. materialistis
c. jujur
d. diktator
e. sabar
II. Kerjakan soal-soal berikut dengan tepat!
Bacalah naskah drama berikut ini!
SudahSudah
SudahSudah
Sudah
Darto Temala
Pentas menggambarkan sebuah kebun, halaman
belakang gedung perpustakaan SMA. Di tengah
terdapat bangku panjang, tempat duduk yang terbuat
dari semen. Bagian depan sebelah kanan terdapat
bak air kecil yang tak ada airnya dan bisa untuk duduk.
Ada beberapa tanaman bunga dan pot bunga ada di
situ. Latar belakangnya gedung perpustakaan.
Yusrina :
(Sedang tekun membaca buku catatan,
belajar. Tas, buku ada di sisinya, di bangku
tersebut. Setelah terdengar bel, beberapa
saat berlalu dalam sepi)
Igun
:
(Masuk dari kiri)
Sudah lama?
Yusrina :
(Acuh tak acuh)
Sudah!
Igun
:
(Duduk di sampingnya)
Tentu saja. Tadi kau
tidak ikut pelajaran yang keenam.
(Mem-
buka buku catatan)
Pak Hadi tadi juga
menanyakan kamu. Lalu, teman-teman
menjawab sekenanya. Kau pulang lantaran
sakit perut.
(Pause)
Jam keenam sudah
lewat?
Yusrina :
(Sambil membaca)
Sudah!
Igun
: Terang sudah
(Pause)
Hmmmmm, seka-
rang jam pelajaran ketujuh. Jam kedelapan
ulangan Fisika, jadi masih ada waktu untuk
belajar ....
(Melihat jam tangan)
Tiga puluh
tujuh menit. Kau sudah belajar tadi malam?
Yusrina :
(Sambil membaca)
Sudah!
Igun
: Aku juga tahu, tapi cuma sepintas lalu saja.
O, ya, soal-soal minggu kemarin sudah
kaukerjakan?
Yusrina :
(Sambil membaca)
Sudah!
Igun
: Semua?
(Diam Saja)
Biasanya kau hanya
mengerjakan empat dari sepuluh soal itu.
Itu pun yang mudah saja. Iya, kan? aku
sendiri paling malas bila berhadapan de-
ngan soal-soal Fisika. (
Membuka catatan-
nya)
Eh, Yus sudah nonton “Mighty Man”?
Yusrina :
(Kesal)
Sudah!
Igun
: Bagaimana kesannya? Bagus? Aku juga
nonton, juga lihat kamu. Kau nonton dengan
....
Yusrina :
(Cepat memotong)
Sudah!
Igun
: Asyik ya, nonton duaan!
Yusrina :
(Kesal)
Suuuudah!
Igun
:
(Menggoda)
Kau tidak salah memilih cowok
macam Agus?
Yustina :
(Marah)
Sudah! Sudah!
Igun
: Dia itu cowok ideal. Gagah lagi.
Face
-nya
lumayan, tidak terlalu ngepop, juga tidak
kampungan.
Yustina :
(Marah)
Suuuuuuudah! Sudah!
Igun
: Apalagi anak pejabat tinggi.
Yustina :
(Masih marah)
Sudah, sudah, sudah!
Igun
: Sudah, sudah! Sudah! Lagi, ah! Dari tadi
sudah melulu. Apa tidak ada kata-kata lain?
Bahasa Indonesia kan banyak perbenda-
haraan katanya. Sudah, sudah, sudah, dari
tadi sudah, sudah, sudah melulu.
(Meng-
goda)
Jangan begitu, Yus, dia itu bener-
bener cakep lho.
Yustina :
(Marah)
Sudah, ah!
Igun
: Sudah! Baru bertengkar, apa? Sedang
Perang Sabil, ya? Jangan, ah! Dia itu cowok
ideal. Sungguh! Cuma sayang. Kau kelihat-
annya masih terlalu kecil. Aku kira kau be-
lum pantas pacaran macam malam Minggu
kemarin itu. Soalnya....
Yustina :
(Membanting bukunya)
Sudah, sudah,
sudah, Huuuuu...sudah, sudah, sudah.
Cerewet terus.
(Mengambil bukunya
kembali)
Sudah, aku mau belajar!
Igun
:
(Menirukan)
Sudah, sudah, sudah, sudah.
Huuuu...sudah, sudah, sudah! Cerewet
terus. Sudah, aku mau belajar!
Yustina :
(Mencibir)
Huuuuuh!
Igun
:
(Menirukan)
Huuuuuh!
Sumber:
Kumpulan Drama Remaja
,
(Ed)A, Rumadi
1. Analisilah konflik yang terjadi pada kutipan drama
di atas!
2. Analisislah watak tokoh pada kutipan drama di
atas!
3. Coba Anda lanjutkan drama di atas menjadi lebih
lengkap alur ceritanya! Anda dapat juga menam-
bahkan tokoh lain untuk mendukung tokoh utama.